Menekuni Syari’at,
Dakwah lewat Tarekat
Kelengkapan
penguasaan ilmu syari’at dan tharekat itu Menjadi faktor penting atas
terbentuknya Ketokohan dalam dirinya
secara utuh di kemudian Hari.
T
|
idak banyak di
jumpai dalam kalangan Alawiyyin, seeorang sayyid menekuni suatu Tharekat
tertentu di luar “Thareqat keluarga” yaitu Thareqah Alawiyah. Habib Muhsin Bin
Ali Al-Hinduan adalah satu dari yang tidak banyak itu. Kebesaran nama Habib
Muhsin di kenal luas karena semasa hidupnya ia menjadi mursyid Thareqat
Naqsyabandiah Muzhariyah.
Habib Muhsin lahir pada tahun 1921 di Sumenep,
Madura , dari pasangan Habib Ali bin salim Al-Hinduan dan Syarifah Zainab binti
Muhsin Al-Baiti.
Ia
menjalani masa kecilnya sebagaimana anak kecil pada umumnya. Tapi ada sisi
menarik yang di dapat dari masa kecilnya . Dulu, bila ayahnya menerima tamu ,
terkadang ia mendengarkan obrolan sang ayah dari balik pintu ruang dalam. Saat
ada jawaban atau perkataan Ayahnya kurang tepat , Ia segera mengambil kitab,
Kemudian ia mengambil kitab, kemudian di bukanya kitab itu pada halaman yang
memuat permasalahan yang di katakan Ayahnya, sebagai “pesan tak langsung “
darinya kepada sang Ayah.
Menembus
rahasia Tasawuf
Saat masih
kecilnya itu, ia menimba ilmu di madrasah Makarimul Akhlaq di setiap
jenjangnya, Setelah lulus, ia mengabdikan diri sebagai salah seorang pengajar
di madrasah itu. Bahkan suatu saat di tunjuk sebagai orang yang memimpin
kendali madrasah tersebut.
Jadi, sebelum masuk pada
dunia thareqat , pengusaannya di bidang syariat sudah cukup mumpuni .
kelengkapan penguasaan dalam ilmi syari’at
dan thareqat itu menjadi faktor penting atas terbetuknya ketokohan dalam
dirinya secara utuh di kemudian hari.
Pada masa revolusi fisik. Habib Muhsin
pun terlibat dalam pertempuran langsung dengan pihak Belanda. Di antaranya
dalam pertempuran di Gondanglegi , Malang, dan di Sampang, Madura. Saat itu ia
masuk dalam barisan Hizbullah . Banyak anak buahnya atau kawan seperjuangannya
di medan pertempuran yang kemudian menjadi penghikutnya dalam thareqat.
Habib Muhsin Belajar Thareqat
Naqsyabandiyah dari beberapa guru . Pertama-tama kepada kiai Sirajuddin,
kemudian Kiai Fhathul Bari dan akhirnya kepada kiai Syamsuddin . Dua guru yang
pertama meninggal dunia sebelum Habib Muhsin menerima ijazah sebagai khalifah,
dan gurunya yang ketigalah yang menunjuknya , Habbib Muhsin juga pernah meminta
bimbingan ruhani kepada guru Naqsyabandiyah lain yang namanya sangat terkenal
di Madura ,kiai Ali Wafa dari Ambuten.
Ia juga meminta ijazah dari dua
khalifah kiai Fhathul Bari , yaitu kiai Zainal Abidin dan kiai Mahfudzh.
Di sebutkan pula , Habib Muhsin
berkhalwat di mana secara ruhaniah ia menembus sedalam mungkin rahasia
perjalanan tasawuf di bawah bimbingan
syaikh Thareqat Naqsyabandiyah Khalidiyah
yang sangat di kenal. Haji Jalaluddin Dari Bukit tinggi.
Setelah di akui sebagai Guru (Mursyid)
Habib Muhsin dalam waktu singkat jauh mengungguli para guru Thareqat
Naqsyabandiah lainnya.
Ia menerbitkan ulang Risalah singkat
yang di tulis Kiai Abdul Azhim Al-Manduri (yang ternyata merupakan terjemahan
bahasa melayu dari sebuah risalah yang di tulis oleh syaikh Muhamad Shalih
Az-Zawawi untuk para muridnya yang berada di indonesia) dan juga menulis
beberapa buku kecil.
Sekitar pertengahan tahun
1970-an, Habib Muhsin di anggap sebagai Ulama Kalimantan Barat yang paling luas pengtahuannya, dan juga paling
berpengaruh , tidak hanya di kalangan orang Madura yang tinggal dikalimantan,
tetapi juga di kalangan pemeluk Islam lainnya. Hal ini di ungkap oleh Martin
van Bruinessen dari pendapat sejarawan Malaysa H. Wan Muhammad Shaghir Abdullah yang pada tahun-tahun tersebut memimpin
sebuah pondok di Mempawah, Kalimantan Barat.
Pengaruhnya juga terus meluas tidak
lagi terbatas pada daerah Madura dan Kalimantan Barat saja. Tetapi juga pada berbagai komunitas
pengikutnya yang mengembangkan diri di tempat lain . di antaranya di
Banjarmasin dan Ujung Pandang.
Mencair Kembali
Habib Muhsin menghabiskan
umurnya di jalan dakwah. Sekalipun ia kelahiran Sumenep ,lahan dakwahnya lebih
banyak berada di Kalimantan, khususnya di Pontianak, Kalimantan Barat. memang
banyak orang Madura yang bermukim di kalimantan, bahkan sudah beberapa
generasi.
Diperkirakan, ada sekitar 180 Masjid dan
langgar binaannya, terutama yang terdapat di sepanjang sungai di
Pontianak. Setiap kali ia keluar dari
Sumenep berangkat ke Pontianak,biasanya pulang kembali ke rumah di Sumenep
dalam tempo empat sampai lima bulan.
Setengah bulan di rumah, beristirahat dan
menemui sanak keluarganya, ia kembali lagi ke daerah lainnya, seperti di
Banjarmasin, atau terkadang ke ujung padang. Demikianlah kehidupan yang
dijalani Habib Muhsin waktu demi waktu.
Seperti
yang diungkap oleh Habib Ali, salah satu putra Habib Muhsin, setelah Habib
Muhsin terjun secara total dalam dunia dakwah, belum pernah Habib Muhsin ini
ada di rumah di Sumenap selama sebulan penuh, kecuali pada bulan ramadhan saja.
Bila Ramadhan datang, ia khususkan bulan itu untuk beribadah dan berkumpul
bersama keluarganya di rumah. Tapi bukan berarti ia menutup pintu dari
kedatangan murid-muridnya yang selalu ingin mendatanginya untuk, menimba
ilmunya. Setiap malam selesai tarawih, biasanya ia membuka mejelis rauhah
dengan membaca kitap Ihya’ Ulumiddin, karya Al-Ghazali, dan kitap Al-Hikam,
karya Ibn Atha’illah.
Peneliti Belanda Martin Van Bruinessen, dalam
bukunya kitab kuning, pesantren, dan tarekat, menyebutkan, popularitas
Habib Muhsin menyurut ketika ia mengambil pilihan untuk masuk Golkar pada masa
menjelang Pemilu 1977.
Memang, pilihan itu sepenuhnya ia sadari
mengandung risiko yang tidak kecil. Tetapi ia mempunyai pertimbangan sendiri
dengan memperhatikan banyak hal dari segala sisi. Sebagaimana yang dituturkan
Habib Muhammad, putra tertua Habib Muhsin, hal terpenting yang di perhatikan
ayahnya adalah gerak langkah dakwahnya yang harus dapat terus berjalan mulus ke
pelosok terpencil manapun adanya.
Pengalaman sebelumnya yang ia dapat saat
berdakwah ke berbagai pelosok , hampir selalu ia mengalami berbagai hal yang
membuatnya merasa ruang gerak dakwah menjadi sangat terbatas. Dari mulai sekedar interogasi sampai
intimidasi ia terima tiap kali ia mendatangi pelosok-pelosok daerah Kalimantan.
Maklum saja , memang begitulah kondisi zaman pada saat itu.
Setelah
masuk Golkar, di satu sisi Habib Muhsin mendapat banyka kecaman, tapi disisi
lain ia memperoleh keleluasaan gerak dalam dakwahnya. Konon ia mendapat surat
izin untuk dapat berdakwah di seluruh pelosok Nusantara. Dan itu berlaku selama
seumur hidup. Bahkan tidak jarang kepala daerah di daerah yang ia datangi
menyambutnya dengan penuh kehangatan.Ia pun berpikir, mereka ini juga adalah
sasaran dakwahnya. walau dengan berbagai resiko yang ia terima dengan
pilihannya itu, yang terpenting baginya, gerak langkah dakwahnya tidak lagi
terhambat.
Pilihan yang diambil Habib Muhsin memang
pilihan yang sangat tidak populer pada masa itu. Kalau ia hidup di zaman sekarang,
pilihan untuk aktif di mana pun tidak akan lagi jadi masalah. Pandangannya
memang pandangan yang jauh ke depan. Baginya, pilihan dalam dunia politik
adalah masalah duniawi yang tidak ada hubungannya dengan kualitas keberagaman
dirinya.
Uniknya, sekalipun sudah masuk pada kekuatan
politik itu, ia hampir tidak pernah terlibat sama sekali, baik sekedar
menghadiri acara-acaranya, apalagi berada dalam kepengurusan atau ditunjuk
sebagai semacam penasehat. Bahkan kalau pemilihan umum sedang diselenggarakan,
ia mengambil undangan dakwah ke satu daerah yang tergolong paling pelosok,
dimana panitia pemilihan umum pada saat itu belum menjangkau daerah itu.
Pilihan Habib Muhsin memang sekadar kiat
darinya untuk mensiasati ruang gerak dakwahnya.
Pada awalnya, pilihannya itu jelas mendapat
tantangan yang luar biasa besar. Banyak pihak yang mulai menjauhinya, bahkan
sebagian dari jama’ahnya sendiri perlahan-lahan mundur teratur darinya. Tapi
lama-kelamaan kondisinya pun mencair kembali seperti semula.
Perjalanan Terakhir
Habib Muhsin dikenal memiliki jiwa seorang
yang dermawan. Dalam hidupnya tak terhitung banyaknya orang yang diangkatnya
sebagai anak asuhnya. Anak-anak asuhnya itu diperlakukan sebagaimana ia
memperlakukan anak kandungnya. Mereka diberi hadiah pakaian dengan pakaian yang
sama seperti yang ia berikan kepada anak-anak kandungnya sendiri. Mereka
dibiayai hidupnya oleh Habib Muhsin bukan hanya di masa kecilnya, tapi juga
sampai menuntaskan pendidikan mereka kejenjang yang tertinggi. Bahkan sampai
mereka menikah pun, Habib Muhsin terlibat dalam kepengurusannya dan
pembiayaannya.
Sebagai seorang tokoh tarekat, Habib Muhsin
juga dikenal sebagai orang yang memiliki rasa tawakkal kepada Allah SWT yang
amat mendalam.
Suatu saat, salah seorang putranya pulang dari
sekolah lebih pagi dari biasanya. Ketika ditanyakan kepada putranya perihal
kepulangannya itu, sang putra menjawab bahwa gurunya di sekolah memulangkannya
karena sudah beberapa bulan ia belum membayar uang sekolah.
Sekalipun Habib Muhsin adalah seorang tokoh
besar di zamannya, kehidupan keluarganya memang kehidupan yang sederhana. Wajar
saja bila sekadar uang bayaran sekolah anaknya pun sempat tak terbayarkan
olehnya.
Habib Muhsin tidak gusar sedikit pun. Dengan
tenang ia mengatakan, “Ya sudah, tunggu saja disini. Insya Allah sebentar lagi
ada.”
Tidak lama setelah Habib Muhsin mengatakan
itu, tiba-tiba ada orang yang menyampaikan kabar tentang adanya wesel untuk
Habib Muhsin di kantor pos.
Habib Muhsin kemudian mengatakan “sekarang kamu ambil wesel itu di kantor pos ,
dan bayarkan ke sekolah untuk uang sekolah kamu itu.”
Sekali waktu, kondisi kesehatan Habib Muhsin
sedang terganggu, Tetapi jadwal dakwahnya menuntutnya untuk harus segera
berangkat lagi ke Pontianak. Saat itu keluarga banyak yang berharap dan meminta kepadanya untuk mengurungkan
rencana dakwahnya kali itu. Kekhawatiran terlihat di mata mereka saat
menyaksikan kondisi kesehatan Habib Muhsin yang tampaknya tidak memungkinkan
untuk berangkat pada saat itu.
Namun semangat dakwah Habib Muhsin tak luntur
oleh karena kondisi kesehatannya yang tidak prima. Ia tetap berketetapan hati
untuk berangkat. Yang ada dalam pikirannya pada saat itu tak lain kecuali rasa
kasihan kepada murid-murid yang merindukan dirinya dan mengharapkan kedatangannya
segera. Tetapi, ia pun tak ingin mengecewakan harapan keluaraganya.
Maka, demi mendengar permintaan keluarganya
itu, Habib Muhsin mengatakan, “baiklah. Saya janji , ini perjalanan saya
terakhir.... kalau nanti murid-murid saya kangen kepada saya, biar mereka saja
yang kesini.”
Sabtu sore , 3 mei 1980 , tak lama
setelah setelah keberangkatannya ke
Pontianak , terdengarlah kabar , Habib Muhsin Wafat.
Pihak keluarga pun segera mengutus Habib
Muhamad bin Ali Al-hinduan untuk mengurus pemberangkatan jenazah Habib Muhsin
ke Madura.
Menunggu kedatangan Jenazah Habib Muhsin ,
puluhan ribu warga tampak menyemut di sumenep. Belum pernah terjadi fenomena
berkumpulnya orang sedemikian banyak saat wafatnya seseorang melebihi banyaknya
orang berkumpul pada saat menunggu kedatangan jenazah Habib Muhsin.
Minggu menjelang Magrib , jenazah sampai di
rumah. Sekitar ba,da isya, jenazah Habib Muhsin pun dimakamkan di sebuah
pemakaman umum di kota sumenep.
Banyak pihak menawarkan agar Habib Muhsin di
makamkan di satu area pemakan khusus. Tapi berdasarkan permintaan Habib Muhsin
sendiri,permintaan itu tidak dapat di kabulkan. Habib Muhsin ingin jasadnya di
makamkan bersama masyarakat umum lainnya.
Rupanya, ini lah yang di maksud oleh Habib
Muhsin sebagai perjalan terakhir inilah pula yang ia maksud bahwa bila murid-muridnya
kangen kepada diri nya , biar mereka yang mendatangi nya di Sumenep.
Sumber Majalah
Al-Kisah edisi 17 Ramadhan 1430 di tulis blog tarannam cab Kelua pada hari
kamis 2 Ramadhan 1434 H. 11 juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar