Kamis, 11 Juli 2013

Biografi Al-Habib Muhsin Bin Ali Al-Hinduan


    Menekuni Syari’at,
Dakwah lewat Tarekat
Kelengkapan penguasaan ilmu syari’at dan tharekat itu Menjadi faktor penting atas terbentuknya Ketokohan dalam dirinya  secara utuh di kemudian Hari.
T
idak banyak di jumpai dalam kalangan Alawiyyin, seeorang sayyid menekuni suatu Tharekat tertentu di luar “Thareqat keluarga” yaitu Thareqah Alawiyah. Habib Muhsin Bin Ali Al-Hinduan adalah satu dari yang tidak banyak itu. Kebesaran nama Habib Muhsin di kenal luas karena semasa hidupnya ia menjadi mursyid Thareqat Naqsyabandiah Muzhariyah.
Habib Muhsin lahir pada tahun 1921 di Sumenep, Madura , dari pasangan Habib Ali bin salim Al-Hinduan dan Syarifah Zainab binti Muhsin Al-Baiti.
          Ia menjalani masa kecilnya sebagaimana anak kecil pada umumnya. Tapi ada sisi menarik yang di dapat dari masa kecilnya . Dulu, bila ayahnya menerima tamu , terkadang ia mendengarkan obrolan sang ayah dari balik pintu ruang dalam. Saat ada jawaban atau perkataan Ayahnya kurang tepat , Ia segera mengambil kitab, Kemudian ia mengambil kitab, kemudian di bukanya kitab itu pada halaman yang memuat permasalahan yang di katakan Ayahnya, sebagai “pesan tak langsung “ darinya kepada sang Ayah.
Menembus rahasia Tasawuf
Saat masih kecilnya itu, ia menimba ilmu di madrasah Makarimul Akhlaq di setiap jenjangnya, Setelah lulus, ia mengabdikan diri sebagai salah seorang pengajar di madrasah itu. Bahkan suatu saat di tunjuk sebagai orang yang memimpin kendali madrasah tersebut.
           Jadi, sebelum masuk pada dunia thareqat , pengusaannya di bidang syariat sudah cukup mumpuni . kelengkapan penguasaan dalam ilmi syari’at  dan thareqat itu menjadi faktor penting atas terbetuknya ketokohan dalam dirinya secara utuh di kemudian hari.
          Pada masa revolusi fisik. Habib Muhsin pun terlibat dalam pertempuran langsung dengan pihak Belanda. Di antaranya dalam pertempuran di Gondanglegi , Malang, dan di Sampang, Madura. Saat itu ia masuk dalam barisan Hizbullah . Banyak anak buahnya atau kawan seperjuangannya di medan pertempuran yang kemudian menjadi penghikutnya dalam thareqat.
          Habib Muhsin Belajar Thareqat Naqsyabandiyah dari beberapa guru . Pertama-tama kepada kiai Sirajuddin, kemudian Kiai Fhathul Bari dan akhirnya kepada kiai Syamsuddin . Dua guru yang pertama meninggal dunia sebelum Habib Muhsin menerima ijazah sebagai khalifah, dan gurunya yang ketigalah yang menunjuknya , Habbib Muhsin juga pernah meminta bimbingan ruhani kepada guru Naqsyabandiyah lain yang namanya sangat terkenal di Madura ,kiai Ali Wafa dari Ambuten.
          Ia juga meminta ijazah dari dua khalifah kiai Fhathul Bari , yaitu kiai Zainal Abidin dan kiai Mahfudzh.
          Di sebutkan pula , Habib Muhsin berkhalwat di mana secara ruhaniah ia menembus sedalam mungkin rahasia perjalanan tasawuf  di bawah bimbingan syaikh Thareqat Naqsyabandiyah Khalidiyah  yang sangat di kenal. Haji Jalaluddin Dari Bukit tinggi.
          Setelah di akui sebagai Guru (Mursyid) Habib Muhsin dalam waktu singkat jauh mengungguli para guru Thareqat Naqsyabandiah lainnya.
          Ia menerbitkan ulang Risalah singkat yang di tulis Kiai Abdul Azhim Al-Manduri (yang ternyata merupakan terjemahan bahasa melayu dari sebuah risalah yang di tulis oleh syaikh Muhamad Shalih Az-Zawawi untuk para muridnya yang berada di indonesia) dan juga menulis beberapa buku kecil.
          Sekitar pertengahan tahun 1970-an, Habib Muhsin di anggap sebagai Ulama Kalimantan Barat  yang paling luas pengtahuannya, dan juga paling berpengaruh , tidak hanya di kalangan orang Madura yang tinggal dikalimantan, tetapi juga di kalangan pemeluk Islam lainnya. Hal ini di ungkap oleh Martin van Bruinessen dari pendapat sejarawan Malaysa H. Wan Muhammad Shaghir  Abdullah yang pada tahun-tahun tersebut memimpin sebuah pondok di Mempawah, Kalimantan Barat.
          Pengaruhnya juga terus meluas tidak lagi terbatas pada daerah Madura dan Kalimantan Barat saja.  Tetapi juga pada berbagai komunitas pengikutnya yang mengembangkan diri di tempat lain . di antaranya di Banjarmasin dan Ujung Pandang.
Mencair Kembali
          Habib Muhsin menghabiskan umurnya di jalan dakwah. Sekalipun ia kelahiran Sumenep ,lahan dakwahnya lebih banyak berada di Kalimantan, khususnya di Pontianak, Kalimantan Barat. memang banyak orang Madura yang bermukim di kalimantan, bahkan sudah beberapa generasi.
          Diperkirakan, ada sekitar 180 Masjid dan langgar binaannya, terutama yang terdapat di sepanjang sungai di Pontianak.  Setiap kali ia keluar dari Sumenep berangkat ke Pontianak,biasanya pulang kembali ke rumah di Sumenep dalam tempo empat sampai lima bulan.
Setengah bulan di rumah, beristirahat dan menemui sanak keluarganya, ia kembali lagi ke daerah lainnya, seperti di Banjarmasin, atau terkadang ke ujung padang. Demikianlah kehidupan yang dijalani Habib Muhsin waktu demi waktu.
 Seperti yang diungkap oleh Habib Ali, salah satu putra Habib Muhsin, setelah Habib Muhsin terjun secara total dalam dunia dakwah, belum pernah Habib Muhsin ini ada di rumah di Sumenap selama sebulan penuh, kecuali pada bulan ramadhan saja. Bila Ramadhan datang, ia khususkan bulan itu untuk beribadah dan berkumpul bersama keluarganya di rumah. Tapi bukan berarti ia menutup pintu dari kedatangan murid-muridnya yang selalu ingin mendatanginya untuk, menimba ilmunya. Setiap malam selesai tarawih, biasanya ia membuka mejelis rauhah dengan membaca kitap Ihya’ Ulumiddin, karya Al-Ghazali, dan kitap Al-Hikam, karya Ibn Atha’illah.
Peneliti Belanda Martin Van Bruinessen, dalam bukunya kitab kuning, pesantren, dan tarekat, menyebutkan, popularitas Habib Muhsin menyurut ketika ia mengambil pilihan untuk masuk Golkar pada masa menjelang Pemilu 1977.
Memang, pilihan itu sepenuhnya ia sadari mengandung risiko yang tidak kecil. Tetapi ia mempunyai pertimbangan sendiri dengan memperhatikan banyak hal dari segala sisi. Sebagaimana yang dituturkan Habib Muhammad, putra tertua Habib Muhsin, hal terpenting yang di perhatikan ayahnya adalah gerak langkah dakwahnya yang harus dapat terus berjalan mulus ke pelosok terpencil manapun adanya.
Pengalaman sebelumnya yang ia dapat saat berdakwah ke berbagai pelosok , hampir selalu ia mengalami berbagai hal yang membuatnya merasa ruang gerak dakwah menjadi sangat terbatas.  Dari mulai sekedar interogasi sampai intimidasi ia terima tiap kali ia mendatangi pelosok-pelosok daerah Kalimantan. Maklum saja , memang begitulah kondisi zaman pada saat itu.
          Setelah masuk Golkar, di satu sisi Habib Muhsin mendapat banyka kecaman, tapi disisi lain ia memperoleh keleluasaan gerak dalam dakwahnya. Konon ia mendapat surat izin untuk dapat berdakwah di seluruh pelosok Nusantara. Dan itu berlaku selama seumur hidup. Bahkan tidak jarang kepala daerah di daerah yang ia datangi menyambutnya dengan penuh kehangatan.Ia pun berpikir, mereka ini juga adalah sasaran dakwahnya. walau dengan berbagai resiko yang ia terima dengan pilihannya itu, yang terpenting baginya, gerak langkah dakwahnya tidak lagi terhambat.
Pilihan yang diambil Habib Muhsin memang pilihan yang sangat tidak populer pada masa itu. Kalau ia hidup di zaman sekarang, pilihan untuk aktif di mana pun tidak akan lagi jadi masalah. Pandangannya memang pandangan yang jauh ke depan. Baginya, pilihan dalam dunia politik adalah masalah duniawi yang tidak ada hubungannya dengan kualitas keberagaman dirinya.
Uniknya, sekalipun sudah masuk pada kekuatan politik itu, ia hampir tidak pernah terlibat sama sekali, baik sekedar menghadiri acara-acaranya, apalagi berada dalam kepengurusan atau ditunjuk sebagai semacam penasehat. Bahkan kalau pemilihan umum sedang diselenggarakan, ia mengambil undangan dakwah ke satu daerah yang tergolong paling pelosok, dimana panitia pemilihan umum pada saat itu belum menjangkau daerah itu.
Pilihan Habib Muhsin memang sekadar kiat darinya untuk mensiasati ruang gerak dakwahnya.
Pada awalnya, pilihannya itu jelas mendapat tantangan yang luar biasa besar. Banyak pihak yang mulai menjauhinya, bahkan sebagian dari jama’ahnya sendiri perlahan-lahan mundur teratur darinya. Tapi lama-kelamaan kondisinya pun mencair kembali seperti semula.

Perjalanan Terakhir
Habib Muhsin dikenal memiliki jiwa seorang yang dermawan. Dalam hidupnya tak terhitung banyaknya orang yang diangkatnya sebagai anak asuhnya. Anak-anak asuhnya itu diperlakukan sebagaimana ia memperlakukan anak kandungnya. Mereka diberi hadiah pakaian dengan pakaian yang sama seperti yang ia berikan kepada anak-anak kandungnya sendiri. Mereka dibiayai hidupnya oleh Habib Muhsin bukan hanya di masa kecilnya, tapi juga sampai menuntaskan pendidikan mereka kejenjang yang tertinggi. Bahkan sampai mereka menikah pun, Habib Muhsin terlibat dalam kepengurusannya dan pembiayaannya.
Sebagai seorang tokoh tarekat, Habib Muhsin juga dikenal sebagai orang yang memiliki rasa tawakkal kepada Allah SWT yang amat mendalam.
Suatu saat, salah seorang putranya pulang dari sekolah lebih pagi dari biasanya. Ketika ditanyakan kepada putranya perihal kepulangannya itu, sang putra menjawab bahwa gurunya di sekolah memulangkannya karena sudah beberapa bulan ia belum membayar uang sekolah.
Sekalipun Habib Muhsin adalah seorang tokoh besar di zamannya, kehidupan keluarganya memang kehidupan yang sederhana. Wajar saja bila sekadar uang bayaran sekolah anaknya pun sempat tak terbayarkan olehnya.
Habib Muhsin tidak gusar sedikit pun. Dengan tenang ia mengatakan, “Ya sudah, tunggu saja disini. Insya Allah sebentar lagi ada.”
Tidak lama setelah Habib Muhsin mengatakan itu, tiba-tiba ada orang yang menyampaikan kabar tentang adanya wesel untuk Habib Muhsin di kantor pos.
Habib Muhsin kemudian mengatakan  “sekarang kamu ambil wesel itu di kantor pos , dan bayarkan ke sekolah untuk uang sekolah kamu itu.”
Sekali waktu, kondisi kesehatan Habib Muhsin sedang terganggu, Tetapi jadwal dakwahnya menuntutnya untuk harus segera berangkat lagi ke Pontianak. Saat itu keluarga banyak yang berharap  dan meminta kepadanya untuk mengurungkan rencana dakwahnya kali itu. Kekhawatiran terlihat di mata mereka saat menyaksikan kondisi kesehatan Habib Muhsin yang tampaknya tidak memungkinkan untuk berangkat pada saat itu.
Namun semangat dakwah Habib Muhsin tak luntur oleh karena kondisi kesehatannya yang tidak prima. Ia tetap berketetapan hati untuk berangkat. Yang ada dalam pikirannya pada saat itu tak lain kecuali rasa kasihan kepada murid-murid yang merindukan dirinya dan mengharapkan kedatangannya segera. Tetapi, ia pun tak ingin mengecewakan harapan keluaraganya.
Maka, demi mendengar permintaan keluarganya itu, Habib Muhsin mengatakan, “baiklah. Saya janji , ini perjalanan saya terakhir.... kalau nanti murid-murid saya kangen kepada saya, biar mereka saja yang kesini.”
Sabtu sore , 3 mei 1980 , tak lama setelah  setelah keberangkatannya ke Pontianak , terdengarlah kabar , Habib Muhsin Wafat.
Pihak keluarga pun segera mengutus Habib Muhamad bin Ali Al-hinduan untuk mengurus pemberangkatan jenazah Habib Muhsin ke Madura.
Menunggu kedatangan Jenazah Habib Muhsin , puluhan ribu warga tampak menyemut di sumenep. Belum pernah terjadi fenomena berkumpulnya orang sedemikian banyak saat wafatnya seseorang melebihi banyaknya orang berkumpul pada saat menunggu kedatangan jenazah Habib Muhsin.
Minggu menjelang Magrib , jenazah sampai di rumah. Sekitar ba,da isya, jenazah Habib Muhsin pun dimakamkan di sebuah pemakaman umum di kota sumenep.
Banyak pihak menawarkan agar Habib Muhsin di makamkan di satu area pemakan khusus. Tapi berdasarkan permintaan Habib Muhsin sendiri,permintaan itu tidak dapat di kabulkan. Habib Muhsin ingin jasadnya di makamkan bersama masyarakat umum lainnya.
Rupanya, ini lah yang di maksud oleh Habib Muhsin sebagai perjalan terakhir inilah pula yang ia maksud bahwa bila murid-muridnya kangen kepada diri nya , biar mereka yang mendatangi nya di Sumenep.
Sumber Majalah Al-Kisah edisi 17 Ramadhan 1430 di tulis blog tarannam cab Kelua pada hari kamis 2 Ramadhan 1434 H. 11 juli 2013                                                                                                                                               






Tidak ada komentar:

Posting Komentar